Tiada setitikpun awan di langit, hanya hamparan biru luas menyilaukan tanpa noda. Jauh di bawahnya, Pasar Banda berkecamuk bak lautan yang tak pernah diam—berdenyut dengan warna, hiruk-pikuk suara, dan aroma yang menyesakkan dada.
Denting koin perak dan tembaga berpindah tangan, teriakan pedagang bersahutan—”Lada! Lada terbaik, langsung dari kebun pribadi Sultan Ternate!” suara mereka melesak di antara riuh langkah kaki dan gelak tawa anak-anak yang berlarian tanpa beban. Kapak menghantam daging ikan segar, berpadung dengan desis minyak mendidih di wajan para ibu penjaja makanan. Bermacam jenis aroma berkelindan dalam tarian tak terlihat: manis dan tajamnya cengkih memenuhi udara, berpadu dengan aroma kayumanis yang menguar dari kantong-kantong anyaman bambu. Asap panggangan daging sapi, dilumuri kunyit dan bumbu rahasia warisan nenek moyang, menyelinap di antara bebauan asam dari buah-buahan yang mulai menua di sudut-sudut pasar, menunggu giliran untuk ditukar beberapa koin. Di tepian pasar, para buruh angkut bersusah payah memanggul karung-karung berat berisi lada dan pala, harta yang membuat Kepulauan Banda diincar seisi dunia. Seorang wanita tua dengan tubuh ringkih berjongkok menggelar dagangan kecil, ketela, ikan kering, dan bumbu dapur sederhana. Ia tahu ia bukan bagian penting perputaran koin di pulau ini, namun senyum simpul tetap menghias wajah keriputnya.
Bintang mengamati semua itu dari balik bayangan sebuah rumah tua. Ia sandarkan bahunya ke dinding kayu yang mulai lapuk, membiarkan bayangan bangunan tua itu menyelimutinya. Matanya yang tajam menelusuri keramaian pasar, mengamati pergerakan orang-orang seperti seorang pemain catur yang menimbang langkah lawan. Ia menarik ujung tudung lusuhnya lebih dalam, menyembunyikan sebagian wajahnya dari pandangan para Penjaga Pulau yang berpatroli dengan langkah berat dan waspada.
Jari-jarinya yang kurus namun cekatan bermain dengan sepotong kayu kecil—kebiasaan lamanya ketika berpikir. Di bawah kakinya, tanah berdebu bercampur dengan sisa-sisa rempah yang jatuh dari karung pedagang. Perutnya yang kosong berkontraksi ketika aroma ikan panggang melintas di udara, tapi ia menahannya. Ada hal yang lebih penting dari sekadar lapar. Pasar Banda bukan sekadar tempat berdagang. Ini adalah papan catur, tempat orang-orang bertahan hidup dengan akal, tipu daya, atau sekadar keberuntungan. Dan hari ini, ia harus bermain lebih cerdik dari sebelumnya.
Bintang menyipitkan mata, mengamati targetnya di antara riuhnya Pasar Banda. Seorang saudagar—gendut, dengan wajah merah terbakar matahari tropis. Ia berjalan dengan dada membusung, gerakannya angkuh namun tak benar-benar percaya diri, seakan ingin menunjukkan kuasa yang tak sepenuhnya ia miliki. Pakaiannya terlihat mahal bagi orang awam, tapi Bintang tahu cara membedakan kain yang benar-benar mewah dan yang hanya tampak mewah. Warna bajunya sedikit berubah di bawah sinar matahari—seratnya lebih kasar dari sutra terbaik yang pernah Bintang lihat. Ini bukan pakaian seorang saudagar yang benar-benar kaya, tapi juga jelas bukan milik orang miskin. Pas.
Dan yang paling penting: ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di Banda.
Bintang sudah menandainya sejak seminggu lalu, ketika pertama kali melihatnya turun dari kapal besar berbendera salib merah. Sejak itu, ia mengamati—memperhatikan kemana saudagar itu pergi, siapa yang ia ajak bicara, dan bagaimana ia membawa diri di tanah yang asing. Dari kebiasaannya menengok sekitar sebelum membeli hingga caranya terus menggenggam kantong uangnya saat berjalan di keramaian, semua menunjukkan hal yang sama: ia belum terbiasa dengan Pasar Banda, belum terbiasa dengan orang-orang seperti Bintang.
Selama seminggu ini, Bintang juga bertanya pada orang-orang di pelabuhan, mendengarkan percakapan para buruh angkut, menyelipkan obrolan ringan dengan para pedagang yang lebih tahu seluk-beluk pelanggan mereka. Saudagar itu datang untuk membeli rempah dalam jumlah besar, membawa perintah dari seseorang yang lebih berkuasa di negeri asalnya. Ia punya uang—cukup banyak untuk menjadi sasaran yang menarik, tapi tidak cukup berpengalaman untuk menyadari bahaya yang mengintainya.
Bintang tahu dia orang Portugis bukan hanya dari wajahnya yang pucat dan janggutnya yang dipangkas rapi, tapi dari hal-hal kecil yang sering luput dari mata orang biasa. Sepatu kulit tinggi yang terlalu hangat untuk cuaca Banda, disepuh agar tampak mahal tapi sudah ada retakan kecil di jahitannya. Sabuk lebar dengan gesper besar dari logam hitam—bukan gaya Belanda yang lebih bersih dan praktis. Ia juga mengenakan rantai salib kecil di lehernya, khas kaum Katolik dari tanah Iberia. Dan yang paling jelas: cara dia berbicara. Dari jauh, Bintang bisa melihat mulut dan tangannya bergerak dengan cara khas orang-orang dari ujung barat lautan. Itu cukup untuk memastikan.
Stolen from its rightful place, this narrative is not meant to be on Amazon; report any sightings.
Hari ini, rencana yang telah ia susun akan berjalan. Dan jika semuanya sesuai harapan, saudagar itu tidak akan sadar apa yang telah terjadi sampai semuanya terlambat.
Dari sudut matanya, Bintang melihat Parang berjalan ke arahnya dengan langkah berat. Tubuh kurusnya yang gelap berkilat terkena matahari, bajunya lusuh, hampir tak layak disebut pakaian, tapi sorot matanya tetap tajam, waspada. Sudah begitu adanya sejak mereka masih piyik, berlarian di jalanan Pasar Banda dengan perut kosong dan kaki telanjang. Parang adalah tangan kanan Bintang—atau mungkin lebih dari itu. Saudara tanpa darah. Tak ada yang tahu pasti dari mana Parang berasal, bahkan Bintang pun tidak. Yang ia tahu, mereka bertahan hidup di sudut gang kotor yang sama—di belakang sebuah toko yang kini tak lagi berdiri, tempat mereka pernah berbagi roti curian saat hujan deras membuat perut mereka melilit. Mereka tumbuh bersama, belajar cara bertahan hidup bersama. Jika Bintang adalah otak, maka Parang adalah tangan dan mata yang selalu awas.
Bintang mengumpan senyum kecil begitu Parang mendekat. “Sudah siap semua?”
Parang hanya membalas dengan anggukan singkat. Ia memang bukan orang yang suka berbasa-basi. “Si Kecil Alang gemetaran sedikit.”
Bintang menyeringai kecil. “Tidak apa, dia butuh belajar juga. Buat pengalaman.”
Parang mendecakkan lidah. “Dia harus belajar lebih cepat.”
"Kau lupa siapa yang dulu terkencing-kencing waktu si tua Mahmud mengejar kita karena ketahuan menyelinap ke tokonya?" ejek Bintang dengan seringai jahil.
Parang mendengus, lalu tanpa peringatan mendorong bahu Bintang dengan sikunya—tidak keras, tapi cukup untuk membuatnya sedikit goyah. Bintang melirik lengan sahabatnya itu sejenak, bekas luka lama masih tampak jelas di sana, garis-garis samar yang tidak pernah benar-benar hilang. Bukti dari hidup di jalanan, dari pisau yang meleset, dari pertarungan yang terlalu sengit, dari hari-hari di mana mereka hanya bisa bertahan dengan tinju dan gigi.
"Mana ada. Yang aku ingat cuma kamu tercebur got sampai basah kuyup. " balas Parang datar, tapi sudut bibirnya terangkat samar. Parang memang tidak pernah tersenyum, apalagi tertawa lepas.
Bintang hanya terkekeh pelan. "Bukan cuma dia yang harus belajar lebih cepat, Parang. Kita semua harus." Ia menyentil kayu kecil yang sedari tadi ia genggam ke arah target mereka yang tengah berhenti di sebuah kedai ikan bakar khas Banda. Saudagar itu berbicara dengan salah satu pengawalnya, menunjuk-nunjuk ikan panggang yang mengepulkan asap harum. Jemarinya yang gemuk mengelus perut buncitnya, tampak jelas bahwa lapar adalah kebiasaan baginya, bukan sekadar kebutuhan.
Mereka berdua mengamati Pasar Banda dalam diam, membiarkan hiruk-pikuk pasar menyelimuti mereka. Suara teriakan pedagang, denting koin, dan gelak tawa para pedagang dan pelaut bercampur menjadi satu, seperti gelombang yang tak pernah benar-benar reda. Bau kayu manis dan cengkih bercampur dengan aroma ikan bakar dan keringat manusia yang memenuhi udara. Jalanan tanah yang mengeras oleh pijakan ribuan kaki terasa panas di bawah terik matahari. Jejak-jejak rempah tumpah berserakan di antara debu—cengkih yang terinjak, kulit kayumanis yang sobek, dan butiran lada yang terguling dari karung para pedagang.
Sekejap, mata Bintang menangkap kilatan cahaya di ujung jalan—sekali, dua kali. Itu bukan pantulan biasa. Itu kode.
Pasti dari Uban.
Ia tidak bisa melihatnya dari sini, tapi tahu betul Uban ada di sana, bersembunyi di tempat tinggi seperti biasa. Bocah kurus itu selalu memilih titik pengawasan yang baik—di atap bangunan tua, di atas pohon, atau di sela-sela tumpukan karung di gudang tak bertuan. Matanya yang tajam bisa melihat segalanya dari kejauhan.
Parang mengulurkan buntalan kain ke arahnya. “Ganti dulu.”
Bintang membuka buntalan itu tanpa bicara. Jemarinya meraba kain di dalamnya—halus, sejuk di kulitnya, seperti bayangan yang menyapu permukaan air. Jauh berbeda dari pakaian kasar yang ia kenakan sekarang. Permukaannya sedikit licin, nyaris seperti sutra, tapi terlalu tebal untuk benar-benar sehalus itu. Mungkin campuran katun dan linen halus, cukup mahal untuk orang yang ingin tampak berkelas tanpa benar-benar memiliki darah biru. Ada aroma samar kayu cendana dan rempah di lipatan kainnya, jejak dari tempat penyimpanan atau pemilik sebelumnya—seseorang yang lebih kaya, lebih terpandang, yang tidak sadar ia kehilangan pakaian ini. Bintang mengangkatnya sedikit sambil memicingkan mata, membiarkan sinar matahari sore menyapu permukaannya. Warna merah tua dengan sulaman benang perak yang hanya terlihat saat tertimpa cahaya dari sudut tertentu. Cukup mahal untuk meyakinkan, tapi tidak terlalu mencolok hingga mengundang perhatian yang salah.
Parang memang tahu benar pilihannya.
Bintang menarik napas, mengeratkan genggaman di kain itu. Sekarang, dialah yang harus memainkan langkah pertama dalam papan catur.