"
"Siapa di sini yang merasa kuliahnya salah jurusan! Tunjuk tangan!"
Seorang pria berbicara secara lantang di atas podium. Terdapat sekitar dua ratus orang di hadapannya.
"Ohh, jadi ada beberapa ya. Bawa mereka maju ke sini!"
Itulah masa orientasi mahasiswa baru. Ngomong-ngomong mereka yang disuruh maju diberi perlakuan yang memalukan dan diinterogasi secara publik.
'Ugh, aku kasihan dengan mereka yang masih polos itu!'
Cahya menanggapi pemandangan di hadapannya. Itu adalah pembulian jika saja tidak dalam lingkup masa orientasi mahasiswa baru.
'Orang-orang bodoh itu, kenapa mereka mengacungkan tangnnya. Apa mereka tidak melihat youtube terkait hal ini! Ugh, dan juga para senior itu bicara bullshit. Apanya yang 'kamu sudah memilih, maka kamu harus menyelesaikannya'. Jika kau merasa tidak cocok dengan mata kuliah itu, lebih baik cari yang lain. Apa mereka tidak melihat jurnal penelitian soal hubungan minat dan hasil belajar. Ugh, memuakkan!'
Martin menanggapi pemandangan di hadapannya. Baginya, masa orientasi semacam itu adalah hal yang membuang-buang waktu.
'Aku ingin segera pulang~' (Cahya)
'Ucapanmu itu tidak berdasar logika dasar senior bodoh bernomor 23!' (Martin)
'Ugh, aku lelah~' (Aulia)
'Ini benar-benar hal yang tidak berguna!' (Ketiganya)
Seperti itulah kira-kira tanggapan ketiga karakter utama pada event tersebut.
......
...
Sore hari, terlihat bahwa kebanyakan mahasiswa baru sudah kelelahan.
"Kalian pikir cuma kalian doang yang lelah! kami juga lelah tahu!"
Kini berganti seorang perempuan yang berada di podium.
"Sekarang, untuk tugas terakhir hari ini, kalian cari satu pasangan dari prodi kalian masing-masing. Cepat!"
Segera para mahasiswa mencari pasangan mereka masing-masing.
Ngomong-ngomong, Martin saat ini baru selesai dari kebutuhan kamar mandinya. Dia memang harus istirahat beberapa waktu setelah kegiatan yang berat.
Bagaimanapun, dia memiliki asma.
"Ummm, Martin, apa kau sudah selesai?"
"Apa aku bisa menunggu sebentar lagi. Sepertinya WC yang ini mampet!"
Martin berbohong. Dia aslinya hanya ingin beristirahat dan membiarkan acara selesai dengan sendirinya sehingga dia bisa pulang begitu saja tanpa masalah.
"Martin, jika kau terlambat maka kemungkinan besar kau tidak akan kebagian pasangan loh!"
Si pembohong terceletuk saat mendengar kata 'pasangan'.
"Apa maksudmu dengan pasangan?"
"Ah, itu tidak diberitahu ya. Pemilihan pasangan dilakukan hari ini. Jadwal yang dibagikan itu hanyalah jebakan!"
Martin bergegas keluar dari bilik kamar mandi. Pria itu kini berhadapan dengan Aulia, salah satu panitia penyelenggara.
"Kenapa kau memberiku informasi sepenting itu?"
Martin curiga.
"Ummm, kan bakal kasihan kalau kamu sampai gak kebagian. Dan juga, jumlah mahasiswanya genap. Jadi, karena kamu menghilang, maka akan ada satu mahasiswa lain yang tidak kebagian pasangan. Dan ummm-"
"Baiklah, aku paham. Tidak kusangka akan ada panitia yang baik hati sepertimu!"
"Panggil aku kak Lia saja... Ah, kalau kita berduaan saja. Nanti saat kita kembali sebut saja dengan nomorku!"
Aulia menunjukkan nomor panitianya. Itu adalah nomor 13.
~~~
"Ha?"
"..."
"Apa maksudnya ini?"
"..."
Cahya terdiam. Dia adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak mendapat pasangan di lapangan.
"Totalnya genap bukan?"
"Iya, kami sudah mengeceknya!"
Cahya adalah korban dari kebandelan Martin. Dia dipojokkan tiga panitia.
Karena di prodinya jumlah mahasiswanya ganjil, dia kebetulan menjadi satu yang tidak mendapat bagian. Beberapa prodi juga mengalami masalah itu. Pada akhirnya mereka saling berpasangan cross-prodi.
Namun, ada satu hal. Cahya lagilah yang menjadi satu-satunya yang tidak mendapat bagian.
"Apa yang kau mau sekarang, huh?"
"... Ummm-"
"Hah, mau nangis? Cengeng sekali kau ha!"
'Bangsad, baru juga aku mau bilang kalau aku gak butuh pasangan!'
"Hah, nangis. Jadi cewek kok cengeng. Punya harga diri gak lo!"
'Ada. Dan juga siapa sih yang sedang mau nangis... ah shit, kenapa mataku jadi agak berair!'
Cahya menahan mocking dari para panitia. Mahasiswa lain hanya bisa melirik sambil kembali ke pekerjaan mereka yaitu menjawab soal yang diberikan.
"Ummm, bisakah kalian hentikan itu!"
"Hah, siapa yang berbicara!"
"Ini aku, Martin!"
"..."
"Kau maba kan?"
"Yup!"
"Kenapa kau baru saja datang!"
"Ada beberapa urusan kecil!"
Karena jawaban enteng dari Martin, sang panitia memunculkan muka marahnya.
"Nomor 24, sebenarnya dia tadi pergi ke kamar mandi dan kelihatannya toiletnya mampet!"
Aulia menengahi tensi.
"Hoi Lia!"
'Lah, kukira mereka saling panggil pakai nomor!'
"Nomor 24, nomorku!"
Dengan lirih Aulia mengigatkan.
"Lia. Kau tahu, kau itu tidak serius kan dalam acara ini!"
Kini tensi berganti.
"Hentikan itu, aku sudah mendapat pasanganku! Sekarang mana lembar soalnya!"
Cahya yang tadinya terdiam mengambil inisiatif. Dia memegang tangan Martin secara tiba-tiba.
Stolen from Royal Road, this story should be reported if encountered on Amazon.
"Kau diamlah terlebih dahulu da-"
"Peraturan nomor lima, jika ada panitia yang menganggu pengerjaan tugas ataupun aktivitas mahasiswa baru, maka panitia itu akan dikeluarkan!"
Cahya yang mana sudah mengingat hampir semua peraturan dan jadwal melakukan balasan kepada panitia perempuan yang dia anggap menyebalkan itu. Si panitia nomor 24.
"Nomor 23, hentikan itu. Berikan kertasnya sekarang juga!"
Dengan begitu, masalah selesai. Atau seharusnya begitu.
"Hei, kenapa kami mendapat lebih banyak lembar daripada yang lain?"
"Kira-kira kenapa coba?"
Pasangan Cahya dan Martin mendapat tugas lebih banyak dibanding yang seharusnya. Karena waktu sudah habis dan satpam universitas sudah memperingati panitia untuk membubarkan acara yang dimolor-molorkan, tugas tersebut menjadi PR.
...
[Hallo, untuk sekali lagi namaku Cahya Melati. Aku dari prodi Fisika. Salam kenalš¤]
[Aku Martin Bagas, prodi Matematika. Aku minta maaf soal yang tadi. Aku tidak mengira bahwa jadwalnya dimajukanš ]
[Tidak apa, lagian memang jadwalnya saja yang dikacaukan. Beruntung satpam tadi datang untuk menegur keras penitiaš¤]
[Yup, padahal aku ingin melihat satpam itu memarahi lebih. Ngomong-ngomong, apa kau ada kesulitan dengan soal yang sudah dibagi?]
[Tidak. Justru aku sudah selesaiš¤]
[Gila, cepetnya. Yah, aku juga sudah selesai si. Beberapa kujawab asal :v]
[Wkwk, sama, aku juga njawab asal beberapa. Btw, aku ingin tidur lebih awal. Tubuhku pegal semuaš„±]
[Oke, good night]
"
~~~
"Lihat, ini adalah chat paling pertama kita!"
"Kenapa kau mengingatkanku akan hal itu, Cahya?"
Cahya menunjukkan handphonenya ke arah Martin yang sedang bermain game offline. Suasana yang tadinya biasa saja kini menjadi agak ramai. Tentu itu karena Cahya.
'Siapa yang mengatakan bahwa pelakunya adalah aku!'
"Bukankah kau tadi meminta bukti soal siapa yang memulai pembicaraan mesum. Di chat pertama, jelas bahwa aku dan kau masih sopan dan saling asing. Tapi, setelah masa orientasi, kau tiba-tiba mengirimiku gambar mesum ini!"
Cahya semakin menghadapkan handphonenya ke wajah Martin. Si pria mempause gamenya lalu menghadap ke arah Cahya. Keduanya saling menatap.
Martin membuka aplikasi chat yang sudah umum digunakan di daerahnya, aplikasi yang dulu sering Martin gunakan untuk memberi pesan kepada Cahya. Aplikasi chat Wussup.
Cahya yang kebingungan. Dirinya memperhatikan si Martin yang mana sedang melakukan slide ke bawah akan handphonenya.
Martin kemudian berhenti. Dia menunjukkan handphonenya ke arah Cahya.
"Eh?"
Cahya terkejut melihat apa yang ada di layar handphone Martin.
"Itu adalah kau!"
Martin menjelaskan. Dia menolak untuk mengakui bahwa orang pertama yang memberikan pesan aneh adalah dirinya.
Di layar handphone milik Martin, terlihat gambar cosplayer suatu karakter setengah telanjang dengan caption yang cukup panjang. Itu merupakan pesan dari Cahya Melati menuju ke kontak Martin. Gambar itu berada di atas kiriman gambar mesum lainnya yang mana merupakan balasan dari Martin.
"A-Ahhh, aku baru ingat. Saat itu aku ingin mengirimkan pesan itu kepada Marrin... Intinya aku salah mengirim pesan karena nama kalian cukup mirip, jadi jangan tatap aku seperti itu!"
Cahya mencoba mencari alasan dan Martin hanya memandang jijik ke arah si gadis.
Si gadis menundukkan kepalanya karena merasa malu setelah salah mengakusisi. Bagaimanapun, dia masih bisa merasakan tatapan jijik Martin ke arahnya.
"Aghh, baiklah. Aku memang suka cosplayer yang setengah telanjang. Memang apa yang salah dengan hal itu!"
Cahya menjelaskan. Dia kini berpasrah.
'Berisik!'
Salin itu, dia juga merasa kesal akan suara yang terus dia dengar di dalam kepalanya.
"Tidak ada yang salah. Lagian juga kau yang pertama kali mengungkit topik yang seharusnya kita lupakan. Padahal kita barusan cerita soal bagaimana kita bertiga bisa bertemu!"
Martin kembali ke gamenya, meninggalkan Cahya dalam tatapan kosong.
Cahya yang merasa kalah hanya bisa menunduk malu. Mukanya menjadi lebih merah.
"Mukaku tidak memerah!"
"Aku tidak bilang begitu dan jangan berteriak!"
Sebelumnya, ketiga mahasiswa itu lari dari daerah urban menuju ke semacam kota kecil. Mereka beristirahat di SPBU yang memiliki semacam toko kecil. Itu adalah tempat di mana mereka mengambil persediaan untuk perjalanan saat ini.
"Hei, apa kak Aulia memang biasanya selama ini?"
Ucap tanya Cahya memecah suasana sepi. Martin yang sudah menamatkan gamenya melirik ke arah Cahya yang bertanya.
"Jangan tanya aku. Lagian kau mengira aku dan kak Aulia punya hubungan apa?"
Cahya bertanya dan dijawab oleh Martin. Bagaimanapun, pertanyaan Cahya terdengar sangat aneh di telinga Martin.
"Kukira kalian berdua pacaran!"
"Matanya, kak Aulia sudah punya pacar, bodoh. Aku sama sekali tidak berani bermacam-macam dengan orang itu!"
Martin dengan nada yang serius mengatakan. Kalimat terakhirnya membuat Cahya penasaran.
"Ehh, memang siapa pacar kak Aulia?"
"Dia i-"
Martin yang hendak menjelaskan tiba-tiba terhenti. Alisnya mengkerut, arah hadapnya adalah Cahya. Atau mungkin yang ada di belakang Cahya.
Pundak secara tiba-tiba terasa berat. Cahya yang mana merasakannya segera melihat ke arah belakang.
"Itu rahasia... Hehe,"
Itu adalah Aulia yang mana memegang pundak si gadis kepo.
"Ah, kak kok lama banget si. Kita jadi tidak bisa pergi ke tempat tujuan!"
"Hehe, maaf, kebutuhan wanita. Lagian juga kau lebih lama menggunakan toiletnya daripada aku!"
Aulia menempelkan telapak tangannya seolah memberi gerakan minta maaf. Namun, itu bukanlah hal yang sebenarnya Aulia maksud.
"Eh, memangnya benar?"
Cahya yang mana tidak menghitung waktu hanya bisa memastikan. Martin berdiri sambil menghela napas sebelum akhirnya dia berbicara.
"Kau tadi sekitar tiga puluh lima menit lebih dua detik. Kak Aulia hanya sekitar tiga puluh menit dua puluh dua detik!"
Martin menjawab keraguan Cahya. Bagaimanapun, Cahya tidak mau percaya akan hal itu.
"Hei, memang bagaimana caranya kau bisa tahu hal itu!"
Bungkus jajan terbuka. Martin yang sedang merasa lapar mencoba menahan rasa lapat itu dengan mengemil beberapa makanan.
"Otakku selalu menghitung satuan waktu. Jika kau memang tidak yakin, aku bisa menunjukkannya dari total waktu kita beristirahat di sini. Saat pertama kali tiba, kau langsung masuk ke toilet, pukul 04:33 PM. Setelahnya kau keluar dari sana pukul 05:09 PM dan itu diteruskan oleh kak Aulia. Aku juga memasang timer untuk menghitung waktu istirahat kita jika kau ingin validasi lebih!"
Sambil makan, Martin menjelaskan.
'Sial, mereka berdua pasti selalu bekerja sama untuk memojokkanku!'
"Ughh, baiklah, aku kalah."
Ketiga mahasiswa itu kemudian saling diam. Cahya merasa kesal karena dirinya daritadi kalah entah terhadap Martin ataupun Aulia. Dia membuka bungkus-bungkus permen untuk meredakan kekesalannya. Hal ini dilakukan Cahya dengan tujuan untuk makanan darurat yang tidak menghasilkan suara. Suara bungkusan permen saat dibuka sudah cukup untuk menarik perhatian zombie di radius tiga meter.
Cahya mengumpulkan camilan, sedangkan Martin dan Aulia mengumpulkan bahan makanan dan barang penting lainnya. Mereka melakukan kegiatan mereka masing-masing.
Jalanan sangatlah sepi seolah tidak ada kehidupan. Kenyataannya, ada beberapa serangga dan hewan yang berlalu lalang.
Suasana yang sepi di dalam toko. Hanya suara bungkusan plastik yang terbukalah yang bisa didengar.
"Hei, tadi kalian membicarakan soal apa? Aku mendengar beberapa kata soal 'masa orientasi'!"
Aulia mencoba untuk melelehkan suasana. Sebelumnya, saat Aulia berada di toilet, dia sempat mendengar soal kata tersebut. Toilet dengan toko memang terletak sangat berdekatan, sehingga normal bagi Aulia untuk bisa mendengar pembicaraan mereka berdua tadi.
"Kami berbicara soal bagaimana kita bisa bertemu. Itu adalah sebuah kebetulan yang sangat kebetulan tentang kita yang bisa kabur bersama dari univ!"
"Yah, aku sangat beruntung karena aku diselamatkan oleh kalian berdua. Jujur saat itu aku sudah berpasrah. Jadi, sekali lagi, terima kasih Martin, Cahya karena telah menyelamatkanku!"
"Kak Lia, bukankah kau terlalu sering mengatakan itu. Bahkan hampir setiap hari kau mengatakannya!"
"Ehh, benarkah? Tapi aku memang menyukainya... soal berterima kasih. Entah kenapa ini sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil!"
Aulia menggaruk kepalanya. Kedua mahasiswa lain hanya memperhatikan kebiasaan aneh senior mereka.
"Kak Aulia, saosnya menempel dirambutmu loh!"
Martin memberitahu. Aulia yang baru menyadari kini memasang muka seperti ingin menangis.
"Wahhh, padahal barusan kusampoi!"
"Yah, kita lanjutkan pekerjaan kita terlebih dahulu. Kak Lia boleh pergi bersampo lagi. Yang penting nanti kak Lia ya yang memasak. Hehe,"
Terus terang si Cahya yang mana seharusnya bertugas memasak. Aulia yang benar-benar menjaga rambutnya hanya bisa setuju akan apa yang dikatakan oleh Cahya.
"Baiklah, mumpung aku juga kepikiran beberapa menu untuk nanti malam!"
Setelahnya, Aulia kembali pergi ke toilet. Kini, di dalam toko hanya ada mereka berdua.
"Lagi!"
"Apa yang kau katakan, Cahya?"
"A-ahh, tidak, hanya saja aku kepikiran soal sesuatu!"
Martin hanya melihat ke arah Cahya. Sebaliknya, Cahya memandang ke arah lainnya. Mereka kemudian kembali ke pekerjaan mereka masing-masing.
...
Petang hari tiba, mereka berniat untuk berkemah di dalam toko SPBU itu. Alasan mudahnya adalah karena zombie menjadi lebih agresif saat malam hari.
Jangkrik mulai bersuara nyaring. Suara angin yang menabrak daun-daun di ranting pohon menciptakan suasana yang mistis. Hawa kemistisan ini diperkuat dengan fakta bahwa mereka sedang berada di kota kecil di tengah daerah hutan. Kota yang kemungkinan besar sudah tidak memiliki penduduk, kota yang dipenuhi darah.
Ketiga orang yang tinggal di toko SPBU tidak mengetahui akan fakta bahwa akan ada ancaman yang datang ke arah mereka. Ancaman yang besar.
"Entah kenapa aku memiliki firasat buruk!"
Ratusan zombie melewati jalanan tempat di mana SPBU yang mereka tempat berada. Tiga orang berdiri dengan tubuh yang dipenuhi darah. Mereka tidaklah berubah menjadi zombie ataupun terluka. Hanya saja mereka terlihat bersedih.
"Martin, kak Lia, aku mendapat penglihatan lagi!"
Dalam keheningan suasana malam, Cahya tiba-tiba mendapatkan penglihatan dan beberapa petunjuk untuk mengatasinya. Hal ini berkat bless clairvoyancenya.
"Apa itu?"
Cahya menjelaskan dan Martin bertanya menanggapi. Aulia yang mana sedang memasak makanan juga ikut memperhatikan.
"Ada ratusan zombie yang akan lewat di depan SPBU ini. Penglihatan setelahnya tidak terlalu jelas, tetapi kita akan selamat, hanya saja dipenuhi darah. Kemungkinan besar itu dari zombie!"
Seiring dengan penjelasan Cahya, Martin dan Aulia mengangguk paham. Mereka sama sekali tidak memiliki keraguan akan perkataan Cahya. Hal ini karena setiap kali Cahya mendapat penglihatan, hal itu pasti akan terjadi.
"Kalau begitu, aku akan memblokade tempat ini! Kak Aulia tetap fokus ke memasak, aku dan Cahya yang akan bekerja. Ngomong-ngomong, kau tahu kapan horde itu akan datang?"
Horde. Sebutan dari sebuah gerombolan zombie yang bergerak bersama. Hal yang membuat horde ini kuat adalah jumlahnya yang banyak dan bergerak bersama. Sekali terkepung oleh mereka, kemungkinan untuk bisa keluar utuh sebagai manusia sangatlah kecil.
Horde yang melewati jalanan dekat SPBU itu akan tiba pada pukul 07:12 PM. Itu adalah waktu di mana zombie mulai agresif dan terlihat menakutkan.
"Aku tidak yakin, tapi mereka kemungkinan besar akan tiba pada pukul 07:12 PM. Sekitar empat puluh menit dari sekarang!"
Aulia berfokus kepada masakannya. Itu adalah semacam kare dan gorengan ikan. Martin dan Cahya mengosongkan rak toko yang kemudian ditempatkan di pinggir jendela dan pintu toko.
......
...
Waktu berlalu. Ketiga mahasiswa sudah selesai makan. Kini, mereka bertiga berposisi siaga menunggu kedatangan horde.
Waktu menunjukkan pukul 07:12 PM, satu zombie muncul. Suara tapak kaki dari banyak individu semacam manusia dapat terdengar jelas di telinga ketiga mahasiswa.
Para zombie yang mana dianggap banyak orang adalah mayat hidup mulai berdatangan. Walaupun mereka seharusnya sudah mati, tetapi mereka masihlah bergerak seolah sedang hidup.
Terkadang, sesuatu yang dianggap sudah mati sebenarnya masihlah hidup.
"Sial, apa-apaan itu. Sesuatu yang mati terkadang masihlah hidup!"