Terkadang, manusia itu mati.
"Hei Martin, apa kau berbicara sesuatu tadi?"
"Apa yang kau katakan Mel. Diamlah dan tidur. Ini sudah malam jadi berhenti menakut-nakuti!"
"Ihhh, beneran loh. Aku tadi kayak dengar seseorang bilang 'manusia itu mati'!"
"Sudah diam dan tidur!"
"Baiklah..."
Mati dan pergi. Itu sudah hakikat dari tiap kehidupan. Semua itu akan terjadi, tidak terkecuali dengan manusia.
"..."
Dunia yang baru. Dunia yang keras. Malam yang gelap.
"Jujur saja aku tidak bisa tidur sekarang ini!"
"Kalau begitu paksakan!"
Ketakutan adalah hal yang normal dialami manusia disaat mereka tidak tahu akan apa yang terjadi di sekitarnya. Begitu pula yang dialami oleh Cahya Melati saat ini.
"Hei, kurasa sesuatu yang kudengar ini tahu bahwa aku sedang ketakutan Martin!"
"Ughhh, ini sudah malam dan kita berada di hutan. Jadi alangkah baiknya bagimu untuk mengabaikan suara itu dan tidur, oke!"
"... Baiklah!"
Dengan agak gelisah Melati memposisikan tubuhnya. Suara serangga dari kejauhan mulai terdengar.
"Kalian ini benar-benar akrab yah!"
Seseorang yang baru ikut dalam pembicaraan. Suara yang dekat.
"Lihat Melati, gara-gara kau kak Aulia jadi terbangun kan!"
"Hehe, jangan marah begitu Martin. Aku masih belum tidur daritadi. Jujur saja aku juga ketakutan sama seperti Cahya!"
"Kak Aulia..."
Melati menghadap ke orang yang ada di sampingnya, orang yang dipanggil Aulia.
Melati membelakangi tas dan barang-barang lain yang memisahkan wilayah perempuan dengan laki-laki.
"Baiklah, aku tahu. Aku juga ketakutan saat ini. Tapi lebih baik untuk tidak cerita horror di tempat seperti ini!"
"Ma-mana ada aku punya nyali seperti itu! Aku akan lanjut tidur lagi!"
Cahya kembali menutupkan selimut ke kepalanya. Takut akan hal-hal mistis yang sering dia dengar akan hutan adalah hal yang mendasari tindakannya.
Keheningan mulai merambati suasana. Hanya suara serangga hutan saja yang terdengar saat ini.
"Hei, apa kalian rindu dengan orang tua kalian?"
Tiba-tiba saja ucapan Aulia memecah keheningan. Martin yang sudah hampir pada titik batas kantuknya langsung terbangun lagi.
"Kak Aulia, sudah kubilang bukan untuk tidak terlalu sering membawa topik ini,"
hembusan napas Martin menandakan kekhawatiran. Tidak ada satupun dari mereka yang bisa terpisah dari pikiran soal orang tua.
"Tapi... Ehm, aku paham. Maafkan aku Martin!"
Jeda suara tanda kekhawatiran. Aulia menyadari bahwa topik yang dia angkat tadi akan menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu.
Suara napas yang tidak dimiliki oleh orang tertidur berhembus di pojok kiri tenda. Suara yang dapat disadari oleh kedua wanita itu. Hembusan napas yang mempersiapkan kata-katanya.
"Prioritas kita sekarang adalah untuk mencari tempat untuk hidup. Setelah itu baru kita akan mencari orang tua kita. Kita semua perantauan, jadi jelas akan sangat lama untuk bisa tiba di tempat tujuan,"
hembusan angin mulai menggoyangkan tendah. Martin berhenti berbicara, membiarkan keheningan kembali melahap suasana.
Keheningan malam membawa ketakutan. Melati jelas tidak bisa menahan hal itu. Dia ingin teman untuk bicara.
"Hei Martin, ingin berlanjut debat soal bagaimana virus itu bekerja?"
"Melati, sudah kubilang bukan bahwa argumentasi kita sama sekali tidak didasari dengan penelitian apapun. Itu bahkan tidak bisa dibilang debat. Itu hanyalah pembicaraan kosong kita terkait kemungkinan premis yang ada. Hei, ini sudah jam sembilan malam jadi lebih baik untuk segera tidur!"
Akhir ucap Martin membuat seluruh penghuni tenda fokus ke pejaman mata mereka. Perlahan jalannya waktu, Martin dan Aulia akhirnya tertidur.
Namun, tidak dengan Cahya Melati. Seorang wanita berusia sembilan belas (19) tahun yang seharusnya menjadi mahasiswa baru di suatu universitas. Dia sudah memiliki kos yang dibayar penuh untuk satu tahun dan sudah memiliki rencana untuk aspek lainnya.
Rencana yang matang, tetapi harus dia lupakan.
Saat ini, mereka tengah berada di sebuah pinggiran hutan kecil. Mereka berkemah di sana.
Ini bukanlah sebuah kisah horror yang mana akan ada hantu yang menganggu mereka saat tidur atau apapun. Tidak.
Ini adalah sebuah kisah tentang tiga orang mahasiswa yang berhasil kabur dari kekacauan yang terjadi di daerah perkotaan. Kekacauan yang diakibatkan oleh outbreak virus tertentu.
Virus yang mana mengubah manusia menjadi seperti zombie.
Ini bermula di saat pagi hari tanggal 23 Mei, satu persatu orang berubah.
Mereka tidak berubah karena sendirinya. Ada alasan tertentu kenapa mereka berubah menjadi zombie. Itu adalah karena luka gigitan dari zombie.
Hanya dengan gigitan kecil, seseorang bisa berubah hanya dalam hitungan jam. Serangan mematikan dari musuh yang bisa berkembang dengan cepat di dalam tubuh.
Malam hari, suara serangga dan angin malam mengiringi goyangan tenda. Malam yang penuh bintang, pula penuh penderitaan.
......
...
"... Hoi, bangun!"
Suara tamparan terdengar lirih di dalam tenda. Itu adalah Martin yang mencoba membangunkan Melati, si gaids yang masih dalam alam bawah sadarnya.
Melati terbangun. Terbangun dengan perasaan marah dan kesal yang mendominasi.
This story originates from Royal Road. Ensure the author gets the support they deserve by reading it there.
"Awww, apa-apaan itu Martin!"
"Apanya yang apa-apaan! Ini sudah jam delapan dan kau masih molor!"
Terang cahaya masuk langsung ke dalam melalui pintu tenda. Itu membutakan pandangan Melati yang hendak mengecek keadaan sekitar.
Martin keluar dari tenda.
Perlahan kesadaran mulai terasa. Langit-langit tenda yang berwarna oranye. Tas dan barang-barnag lain ada di samping. Cahaya terang masih terus menghalangi Melati dari pandangannya terhadap wilayah luar tenda.
Melati keluar.
"Lihatlah mukanya, dia benar-benar seperti orang tidak punya dosa!"
"Hehe, apa kau sudah sadar Cahya? Ingin bubur atau mie?"
Sapaan hangat terdengar dari dua orang yang berbeda. Sapaan yang agak kasar dari Martin Bagas dan sapaan yang sangat lembut dari Aulia Ulti.
"Selamat pagi!"
"Selamat pagi, Cahya!"
Senyuman dilontarkan dari wajah ke wajah lainnya. Sebuah outbreak kebaikan terjadi dalam skala kecil. Outbreak yang tidak menginfeksi Martin dari muka cemberutnya.
"Oi, apa gadis ini pura-pura tidak sadar?"
Martin mengarahkan ucapannya jelas ke Melati. Gadis itu mencoba mengingat apa kesalahan yang pernah dia lakukan kepada Martin hingga dia bermuka seperti itu.
"Kau lupa tugas membuat sarapanmu... Itu jika kau benar-benar lupa!"
"Ah, benar juga. Mohon maaf. Hehe,"
wajah tanpa dosa dipancarkan oleh Melati. Rambut hitamnya terkibas oleh angin. Suasana pagi di bawah langit. Tepat di atas sebuah bukit kecil yang ada di tengah hutan, itulah tempat di mana ketiga orang ini berada.
"Silahkan!"
"Makasih, kak Aulia!"
Aulia memberikan mangkok berisi bubur panas. Itu adalah sarapan pagi untuk kelompok ini.
Dia adalah Aulia Ulti. Seorang wanita berumur dua puluh satu (21) tahun yang mana merupakan kakak tingkat dari dua mahasiswa di dekatnya. Dia adalah mahasiswi di universitas yang sama dengan Melati dan Martin.
Setelah memberikan semangkok bubur kepada Cahya, Aulia masuk ke dalam tenda untuk berganti pakaian. Dia adalah tipikal gadis yang harus memiliki kostum berbeda di event yang berbeda.
Api unggun kecil menari-nari. Dua orang berada di dekat monumen temporal tersebut.
Sendok demi sendok bubur Cahya lahap, Martin memandanginya. Bubur di mangkok sudah hampir habis, Cahya baru menyadari bahwa dirinya sedang ditatapi.
"..."
"..."
Cahya dan Martin saling menatap.
"Apa?"
Cahya yang merasa risih mulai mengeluarkan angan-angannya. Di sisi lain, Martin masih terus memandanginya selama beberapa detik.
"... Tidak, hanya saja kau mengorok sangat keras tadi malam hingga aku mengira ada zombie yang muncul,"
Martin mengeluarkan apa yang ada di dalam angan-angannya. Cahya tersentak menghentikan sendokannya.
"Ka-kau pasti bohong. Jangan mengada-ada Martin. Seumur hidup, aku tidak pernah ingat bahwa diriku pernah mengorok!"
"Yah, soalnya mengorok itu terjadi saat seseorang tidur. Jelas kau tidak akan bisa mengingatnya!"
"A-aku tidak percaya akan hal itu. Lagian juga, ada kemungkinan bahwa kau membuat klaim untuk mengejekku tanpa adanya bukti. Hehe, ini bukan seperti dirimu Martin,"
Cahya memberi muka mengejek terhadap Martin yang tidak bisa membuktikan klaim tuduhannya. Namun, si Martin hanya tersenyum melihat ke arah tenda.
"Tapi kau benar-benar mengorok keras lo, Cahya. Kau mengarahkan muka kepadaku lagi,"
Aulia yang sudah selesai berganti baju ikut percakapan. Dia memperkuat klaim Martin soal Cahya yang mendengkur.
"Kak~"
"Nice kak Aulia!"
"Hehe, maaf, tapi memang begitulah faktanya!"
Cahya menyendok bubur terakhirnya dengan perasaan kesal. Dia belum pernah merasa semalu ini semenjak SMA. Dia juga baru sadar bahwa dia adalah tipikal yang bisa mendengkur.
Beberapa waktu terlewat. Pagi masih tetap pagi. Ketiga mahasiswa sedang mempacking tenda dan barang-barang lain.
"Graaaaaaaaa!"
Suara teriakan yang keras. Para mahasiswa itu mendengarnya cukup jelas.
Mereka saling menatap satu sama lain. Menunggu salah satu orang memberikan pendapat.
"Mutan!"
Cahya memulai. Kedua lainnya mengangguk.
"Dari suaranya, jaraknya masihlah jauh. Kita harus mempacking lebih cepat!"
Martin memberi dorongan terhadap yang lain.
"Graaaaaaa!"
Suara itu kembali terdengar. Martin yang sudah selesai mempacking tenda menyadari sesuatu.
Mutan itu menuju ke arah mereka. Hal itu berdasarkan dari echo suara yang tetap yang Martin dengar.
"Girls, dia menuju ke arah kita. Aku akan melawannya!"
"Tu-tunggu, jangan gegabah Martin. Kita akan bertarung bersama-sama!" (Cahya)
"Tidak, kalian tunggulah di sini. Hanya aku satu-satunya yang mendapat bless tipe fighter. Takutnya jika kalian berdua yang akan diincar... Aku pergi dulu!"
Segera Martin berlari menuju ke arah suara mutan tersebut muncul. Kedua gadis itu tidak sempat mencegahnya.
"Tunggu, Martin-"
"Cahya, percayalah kepada Martin!"
"Ta-tapi kak, dia bertarung sendirian. Aku takut dia akan-"
"Cahya, ingat pertarungan kemarin kan? Dia bisa mengatasinya sendiri!"
Cahya terdiam. Dia sadar bahwa dia tidak bisa menganggu Martin dalam pertarungan.
'Clairvoyance, perlihatkan aku beberapa petunjuk!'
Clairvoyance, sebuah bless yang mana memungkinkan individu untuk melihat sesuatu di masa depan. Ini merupakan bless jenis langka.
"Bagaimana?"
Aulia yang sudah selesai mengpack semua barang bertanya kepada Cahya yang sedang berkonsentrasi. Mereka sudah saling tahu akan bless yang mereka dapat.
Dalam bayang pikiran Cahya, terlihat pertarungan antara Martin dan Deer Mutant (mutan kijang) yang cukup seimbang. Bagaimanapun, di akhir Martinlah yang tetap berdiri.
"Dia akan menang!"
"Kan, sudah kubilang. Kita harus percaya kepada dia dan bless kecepatannya!"
Swift, sebuah bless yang mana memungkinkan individu untuk bergerak dengan lebih cepat. Ini merupakan bless yang cukup umum, tetapi sangat berguna terutama jika digunakan untuk kabur dari kepungan zombie. Itulah bless yang dimiliki Martin.
"Ya, mungkin aku terlalu khawatir soal kejadian kemarin,"
Kedua gadis itu menunggu di tempat. Tidak bergerak agar tidak membingungkan Martin saat kembali.
Di tempat lain, Martin sudah berhadapan dengan sang mutan. Mutan kijang yang mana merupakan mutasi dari zombie yang memiliki potensi di kelincahan. Lawan yang seimbang dengan Martin sang blessed swift.
Kedua makhluk itu berlari berlawanan arah sambil bertukar serangan. Sang mutan sudah mendapat beberapa luka, sedang Martin hanya mendapat luka goresan. Itupun di bagian armor.
"Graaaa!"
"Ke sinilah kau makhluk banyak tingkah!"
Martin memberi ejekan terhadap sang mutan. Hal ini bukan untuk memancing emosi si mutan melainkan untuk menambah semangat dan adrenalin dirinya sendiri.
Sang monster berlari ke arah Martin. Namun, berbeda dengan sebelumnya, kini Martin diam saja. Dia menunggu kesemaptan untuk menyerang bagian tengkuk lehernya.
Cakar melayang ke arah Martin, sang mutan melompat. Bagiamanapun, itu adalah kesempatan emas sang blessed untuk menghindar.
Martin menunduk dan menarik salah satu kaki mutan. Akibat gaya yang terpusat sentripetal di gengaman Martin, sang mutan terhempas ke bawah menabrak tanah dengan keras.
Pisau kukri disayatkan ke arah tengkuk mutan. Serangan itu berhasil, tetapi belum sepenuhnya memotong bagian penting yang diincar. Sang mutan masih bisa berdiri.
"Sial, aku sudah mulai pusing!"
Efek samping dari penggunaan bless. Itulah yang Martin mulai rasakan.
Karena tubuhnya belum terbiasa dengan kecepatan yang tinggi, dia akan merasa pusing dan sedikit pegal setelah beberapa menit menggunakan bless. Ini merupakan halangan bagi Martin yang mana merupakan fighter utama di kelompok.
"Gwraaa~"
Suara sang mutan menjadi berubah. Suaranya menjadi sedikit lebih cempreng dan serak.
Darah berjatuhan di sekitar. Darah dari sang mutan.
Monster itu mengambil gerakan, Martin tidak bisa memaksa tubuhnya lebih lanjut, jadi dia berfokus ke bertahan.
Serangan ke serangan lain diluncurkan. Beruntung Martin menggunakan armor di seluruh tubuh sehingga tidak ada luka yang langsung mengenai tubuh.
Darah terus menetes, menetes dan menetes. Sang mutan menjadi lebih lemas dan goyah.
'Kesempatan!'
Martin memanfaatkan momen ini untuk serangan utamanya. Menggabungkan sayatan kukri dan mengaktifkan bless swift. Ketajaman yang digabung dengan kecepatan dan presisi.
Sayatan tepat mengenai leher depan sang mutan kijang. Berkat bantuan kecepatan dari bless, leher sang mutan terpotong sempurna.
Martin mengerem dirinya. Sang mutan masih terlihat berdiri tegak.
Setelah beberapa detik, kepala mutan berpisah dari tubuhnya. Maritn memengangkan pertarungan itu.
"Graaaa~"
Dari kejauhan, Martin mendengar suara beberapa zombie. Mereka datang menuju ke arahnya. Menuju ke tempat yang tadi digunakan sebagai arena pertarungan.
"Aku sudah tidak kuat. Lebih baik kembali dulu!"
Martin merasakan pusing di kepalanya bertambah. Karena tidak ingin terjebak di tengah kerumunan zombie, Martin kembali ke tempat Cahya dan Aulia.
Tas kecil tergeletak di bawah. Ada dua gadis yang sedang menunggu kedatangan Martin. Dua gadis yang menggendong tas gunung.
"Martin!"
Cahya berteriak ke arah di mana temannya itu datang. Aulia juga melambai untuk memberi tahu posisi mereka.
"Ughhh, kak Lia, a-a-"
"Ah, kambuh lagi... Ini!"
Asma. Penyakit yang berada di tubuh Martin. Karena dia berlari tanpa menggunakan blessnya, Martin menjadi sesak napas.
"Martin, apa kau baik-baik saja?"
"... Aku butuh air!"
Sambil menghisap alat bantu pernapasan yang dipegangi Aulia, Martin memberi kode kepada Cahya untuk memberinya air minum.
"Baik!"
Dengan begitu Martin yang kambuh dan merasa pusing dirawat oleh dua gadis rekannya. Mereka berdiam di posisi tersebut selama dua menit lebih.
"Sudah kubilang kan, tubuhmu masih belum sembuh!"
"Hehe, tapi aku menang, Cahya!"
"Ughhh, lain kali jika kau memaksakan diri lagi, airnya akan kuberi perasa matcha biar kau kapok!"
"Ahh, apapun itu tapi jangan matcha... Kak Lia, terima kasih, aku sudah baikan. Kita harus segera pergi dari sini. Para zombie mulai berdatangan!"
Martin berdiri sambil memberitahu anggota kelompoknya.
"Baik!"
Aulia menjawab Martin. Bagaimanapun, Cahya hanya diam karena tahu bahwa Martin masih belum merasa baikan sepenuhnya. Dia terlalu memaksakan diri, itulah pandangan Cahya terhadap Martin.
"Kita pergi ke arah sana!"
Dengan begitu, ketiga mahasiswa tersebut melanjutkan perjalanan mereka. Perjalanan menuju ke suatu tempat yang mungkin aman dari outbreak zombie.