Elara Faelan duduk di bangku taman Phaedra Academy, memandang langit biru yang tak berawan. Siang itu, matahari bersinar terik, menciptakan bayangan panjang dari pepohonan di sekelilingnya. Angin lembut berhembus, membuat dedaunan berbisik seolah-olah mereka sedang menceritakan rahasia alam.
Namun, dalam benak Elara, tidak ada kedamaian yang bisa dia temukan di antara bisikan dedaunan itu. Suara-suara dari masa lalu terus menghantui pikirannya, membawa kembali kenangan yang ingin dia lupakan.
Sudah 2 tahun yang berlalu—Apa yang terjadi kalau aku tidak mengambil jalan itu? Akankah—pikiran-pikiran itu mulai menghantuinya.
Elara mencoba fokus pada buku di pangkuannya, tetapi kata-kata di halaman itu seolah kabur, tidak mampu menembus kabut pikirannya. Dia menghela napas panjang, menutup buku dengan perasaan frustrasi. "Kenapa semua ini tidak berhenti saja?" gumamnya pelan.
Eira, yang duduk di sebelahnya, menoleh dengan perhatian. "Kau bilang sesuatu, Elara?"
Elara menggeleng, memaksakan senyum tipis. "Tidak, hanya lelah."
“Ada yang mengganjal?” Eira bertanya dengan penuh perhatian
“Y-yah hanya sedikit — tapi udah nggak apa-apa” ucapnya dengan nada lirih
Eira menatapnya dengan cermat, mengetahui bahwa sahabatnya sedang menyembunyikan sesuatu. "Kalau kau butuh bicara, aku selalu ada di sini," kata Eira dengan nada lembut namun tegas.
Elara mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasa ada tembok besar yang sulit untuk diruntuhkan. Setiap kali dia mencoba untuk membuka diri, bayangan masa lalu dan perasaan bersalah yang mendalam segera membanjiri pikirannya. Seperti saat itu.
"Eira," Elara akhirnya berbicara setelah beberapa saat hening. "Apa kau pernah merasa seperti... kau tidak pantas berada di sini? Seperti semua yang kau lakukan tidak pernah cukup?"
Eira menatap Elara dengan penuh perhatian, wajahnya menunjukkan kekhawatiran dan simpati. "Kadang-kadang, aku juga merasa begitu. Tapi, kita harus terus berjuang, kan? Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"
“Kau tau, sebenarnya—aku sama sekali tidak berharap dapat kemampuan ini. Aku merasa tidak layak,” ucap Elara dengan nada pelan.
Eira meraih tangan Elara, menggenggamnya erat. “Jangan pernah berpikir seperti itu, Elara. Kau punya kekuatan yang luar biasa, kalau kau dapat kekuatanmu ini berarti memang kamu layak Elara.”
Elara menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai mengalir. “Tapi bagaimana jika aku tidak bisa melindungi yang lain? Bagaimana jika aku gagal lagi?”
Eiara merasa bingung “Apa maksudmu ‘lagi’?”
“Kau dengar apa yang kemarin Profesor Arion katakan?” Eira menanyakan dengan nada pelan
“Apakah kau yakin, Elara??Mau menggunakan kekuatanmu lagi?”
Eira mengingatnya, dia selalu bertanya-tanya tentang maksud perkataan itu, “Apa maksudnya itu?”
Elara tersenyum tipis “Gak ada apa-apa, hanya kejadian masa lalu,” ucapnya pelan
Eira menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Kita tidak bisa mengubah masa lalu, Elara. Tapi kita bisa belajar darinya dan menjadi lebih kuat."
Dalam hati, Elara tahu bahwa kata-kata Eira benar. Namun, bayangan masa lalu dan rasa bersalah itu begitu kuat, seperti rantai yang mengikat erat dan sulit untuk dilepaskan. Dia memejamkan mata, mencoba merasakan kekuatan dari genggaman tangan Eira, berharap itu bisa memberi sedikit ketenangan.
Sementara itu, di kejauhan, bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Elara dan Eira berdiri, siap kembali ke kelas. Namun, dalam langkah mereka yang terburu-buru, ada suara bisikan “Elara Faelan....”
“Eira, kau dengar itu?” tanya Elara dengan suara bergetar.
"Dengar apa?" balas Eira, bingung.
Elara menggeleng, merasa bingung dengan penglihatannya sendiri. "Tak apa, mungkin cuma imajinasiku."
If you stumble upon this narrative on Amazon, be aware that it has been stolen from Royal Road. Please report it.
Kelas siang itu diisi dengan pelajaran teknomagi, kombinasi antara teknologi futuristik dan sihir kuno yang menjadi ciri khas Phaedra Academy. Profesor Arion, seorang guru yang bijaksana dan memiliki reputasi sebagai pakar di bidang ini, berdiri di depan kelas. Dia adalah pria paruh baya dengan rambut kelabu dan mata tajam yang memancarkan kebijaksanaan.
“Elara, fokuslah,” kata Profesor Arion dengan nada tenang namun tegas saat melihat Elara melamun.
Elara tersentak, merasa malu karena ketahuan melamun. Dia mencoba untuk fokus, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke percakapan dengan Eira.
Eira hanya bisa melihatnya dengan perhatian dari samping.
Di tengah-tengah kelas, Profesor Arion berbicara tentang pentingnya keseimbangan antara teknologi dan sihir. “Kemampuan kita adalah anugerah, tetapi juga bisa menjadi beban. Setiap kekuatan datang dengan tanggung jawab yang besar.”
Kata-kata Profesor Arion bergema di pikiran Elara. Beban. Tanggung jawab. Dia tahu betul apa artinya itu. Ketika kelas berakhir, Elara memutuskan untuk menemui Profesor Arion.
“Mau kemana ?” Eira bertanya dengan perhatian.
“A-aku rasa aku perlu berbicara dengan Profesor Arion sebentar,” jawab Elara dengan ragu.
Eira merasa khawatir dengan Elara. “Mau aku temani?”
“A-nggak perlu aku hanya mau berbicara hal kecil,” ucap Elara dengan terbata-bata
“Begitukah? Baiklah kabari aku kalau ada apa-apa,” ujar Eira penuh khawatir
“I-iya, duluan ya,” Elara segera bergegas
“Profesor, bisakah saya bicara sebentar?” tanya Elara dengan suara pelan.
Profesor Arion menoleh dan mengangguk. “Tentu, Elara. Mari kita bicara di kantor saya.”
Kantor Profesor Arion adalah ruangan yang penuh dengan buku-buku tua, artefak magis, dan perangkat teknologi canggih. Elara duduk di kursi di depan meja kayu besar, merasa sedikit gugup.
“Jadi, apa ini berhubungan dengan hal itu, Elara?” tanya Profesor Arion dengan ramah.
Elara mengangguk “I-iya”
Elara menghela napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang pas. “Prod\f-maksudku paman, aku merasa terbebani dengan kemampuan ini. Aku sering melihat kemungkinan masa depan, tetapi setiap kali kucoba melihat lebih jauh, aku merasa seperti membawa beban dunia di pundakku.”
Profesor Arion mengangguk, memahami perasaan Elara. “Kemampuan untuk melihat masa depan adalah sesuatu yang luar biasa, tetapi juga bisa sangat menekan. Kalau tidak salah kamu pernah bilang ketika menggunakan kemampuan itu ada banyak—rute atau jalur kan?”
Elara mengangguk “I-iya..., ada yang menunjukkan warna merah, hijau, dan warna yang lain. Aku masih tidak paham tentang maksud warna warna yang muncul itu” ucapnya ragu
Profesor Arion menghela napas panjang “Huff...Elara, apa kamu masih terbayang-bayang?”
Elara menundukkan kepala, menghindari tatapan Profesor Arion. “Iya, paman. Aku merasa gagal. Mereka... hiks,” Elara tak kuasa menahan tangisnya
Profesor Arion berdiri, berjalan ke arah jendela dan memandang ke luar, ke arah taman yang masih disinari matahari. “Elara, setiap kemampuan memiliki risiko. Ketika kita melihat ke masa depan, kita harus siap menerima semua kemungkinan, termasuk yang paling buruk. Tapi itu bukan berarti kau gagal. Kau melakukan yang terbaik dengan apa yang kau punya.”
“Aku... aku tidak tahu, paman. Aku merasa seperti aku selalu mengambil keputusan yang salah,” Elara berkata dengan suara yang bergetar “Lalu bagaimana dengan kabar bahwa ada yang mengincar Aliança Stellar? Disana kan ada—” Belum selesai dengan ucapannya, Profesor Arion menyela “Elara!” Elara terkejut dengan nada pamannya yang sedikit tinggi.
Profesor Arion menatap Elara dengan senyum halusnya. “Kamu tak perlu khawatir—dia adalah orang yang kuat, dan dia tidak akan semudah itu untuk dihilangkan”
Setelah mendengar kata-kata itu dan senyumannya, Elara merasa bahwa dirinya terlalu khawatir. Elara mengambil napas dalam-dalam dan menenangkan dirinya.
Profesor Arion menatap Elara dengan penuh pengertian. “Elara, memahami kemampuanmu adalah proses yang panjang. Jangan terburu-buru untuk menghakimi dirimu sendiri. Kita bisa mulai dari sini, bersama-sama. Pelajari apa yang kamu lihat, pahami warna-warna itu, dan gunakan pengetahuan itu untuk membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.”
Elara mengangguk, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Profesor Arion. Meskipun bayangan masa lalu masih menghantui, dia tahu bahwa dia tidak sendiri dalam perjuangannya. Dan mungkin, hanya mungkin, dia bisa belajar untuk menerima dan mengendalikan kemampuannya, suatu hari nanti.
Profesor Arion tersenyum lembut. “Ingat, Elara, setiap hari adalah kesempatan baru untuk belajar dan tumbuh. Jangan biarkan masa lalu mengikatmu. Kau punya potensi besar, dan aku percaya kau bisa mengatasinya.”
Dengan hati yang sedikit lebih ringan. “Te-terima kasih, paman. Aku akan mencoba.” Suaranya terdengar bergetar walaupun hatinya sudah terasa ringan.
Profesor Arion mengangguk. “Itu yang terpenting. Sekarang, kembalilah ke kelas dan teruslah belajar. Aku selalu ada di sini jika kau butuh bicara.”
Elara beranjak dari kursinya. “Baiklah...kalau begitu, permisi,” ia berjalan keluar dari kantor profesor Arion
“Sekarang dia kenapa lagi?” terdengar suara di antara kegelapan di ruangan Profesor Arion. “heheh, kenapa kau penasaran sekali dengannya? Bukannya kau sendiri yang meragukan dia dan kemampuannya?” Jawab Profesor Arion sedikit meledek suara itu. “Ck..itu karena mentalnya lemah. Kemampuan sehebat itu kenapa malah diberikan kepadanya?” Profesor Arion tersenyum “Kau saja yang tidak tau apa yang sudah dia lalui.”
Sementara itu di luar
"Hey, Elara!" terdengar suara yang tak asing lagi baginya, "Kamu terlihat seperti baru keluar dari pertarungan dengan monster raksasa. Apakah kamu baik-baik saja?"
Elara sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya ketika ia menoleh ke belakang
To be Continued...