Novels2Search

Chapter 1

Excalibur Legendaris Telah Hilang

Pedang legendaris Excalibur, yang pernah digunakan oleh Raja Arthur, telah menghilang secara misterius. Kepanikan menyebar di seluruh desa, lembaga pemerintah, arkeolog, dan sejarawan saat mereka bertanya-tanya ke mana perginya artefak suci itu. Pihak berwenang melakukan penyelidikan ekstensif, namun tidak ada jejak senjata legendaris yang dapat ditemukan.

Sementara itu, di sebuah kota terpencil bernama Alavus, Finlandia, seorang remaja laki-laki gemetar ketakutan saat ia menjadi sasaran perundungan yang tak henti-hentinya. Ia menundukkan kepalanya, menahan pukulan dan tendangan dari para penyiksanya. Di antara mereka, seorang anak laki-laki bernama Ezekiel tampaknya sangat menikmati pemandangan itu. Langkah kakinya bergema dengan nada mengancam saat ia mendekat, dan jantung anak laki-laki itu berdebar kencang, memperingatkannya akan kematian yang akan segera terjadi.

Ezekiel menyiram anak laki-laki itu dengan bensin dan menyeringai. "Hei, gendut, coba lari," ejeknya. "Aku hitung sampai lima. Kalau kau masih di sini, aku bakar kau." Dengan jentikan korek apinya, hitungan mundur dimulai.

Meskipun ketakutannya, harapannya yang menipis, dan keyakinannya kepada Tuhan yang memudar, anak laki-laki itu memaksakan diri untuk berdiri dan berlari sekuat tenaga. Tubuhnya yang gemuk itu berjuang untuk mengimbangi, tetapi dia terus maju.

Pada hitungan kelima, Ezekiel dengan kejam melemparkan korek api yang menyala ke arahnya. Saat api melahap tubuh bocah itu, Ezekiel tertawa terbahak-bahak. "Bakar saja di neraka di sini, Arthur! Kau bukan apa-apa! Bahkan Tuhan pun tidak bisa menyelamatkanmu! Ha-ha-ha! Panggang, dasar babi gendut!"

Arthur menggeliat kesakitan, berteriak saat kematian menatap wajahnya. Keputusasaan memenuhi jiwanya, dan dalam penderitaannya, ia berteriak, "Di mana belas kasihan Tuhan?! Mengapa?! Apa yang telah kulakukan salah?! Bukankah Tuhan Mahakuasa?! Ha-ha-ha… Persetan dengan itu! Aku ingin mati dan mengakhiri kesengsaraan ini!"

Stolen content warning: this tale belongs on Royal Road. Report any occurrences elsewhere.

Ketakutan menguasai para pengganggu saat mereka menyadari Arthur mungkin benar-benar akan mati. Mereka berhamburan panik. Tidak seorang pun berani menentang Ezekiel—kekayaan keluarganya melindunginya dari konsekuensi. Tidak seperti yang lain, Ezekiel tetap tinggal, menyaksikan penderitaan Arthur dengan puas. Baru setelah Arthur pingsan karena kelelahan, Ezekiel menyiramnya dengan air. Ia tidak ingin kesenangan itu berakhir terlalu cepat—ia ingin menyiksa Arthur lagi besok.

Ditinggal sendirian, Arthur perlahan membuka matanya. Tubuhnya penuh luka bakar, kekuatannya hampir habis. Orang-orang berlalu-lalang, melangkahinya seolah-olah dia bukan apa-apa. Sebagian peduli, tetapi tak seorang pun berani bertindak. Bagi Arthur, semua manusia adalah pengecut, terikat oleh rantai tak kasat mata. Kebencian memenuhi hatinya—tidak hanya untuk mereka tetapi juga untuk dirinya sendiri.

Saat malam tiba, Arthur berjuang untuk berdiri, tertatih-tatih pulang. Rumahnya tak lebih dari sekadar tempat berlindung yang runtuh. Di dalam, ibunya yang terbaring di tempat tidur berjuang untuk bertahan hidup, terhubung dengan peralatan medis. Ia tetap dalam keadaan koma, tidak dapat bergerak atau berbicara. Arthur bertahan hidup dengan menyemir sepatu di jalanan, dan memperoleh penghasilan yang cukup untuk bertahan hidup.

Sesampainya di rumah, ia mencium kening ibunya, berdoa agar ibunya baik-baik saja. Ibunya selalu menjadi satu-satunya sumber penghiburannya, satu-satunya orang yang menjaga dunianya yang rapuh agar tidak runtuh. Ayahnya tetap menjadi misteri, topik yang tidak pernah dibicarakan ibunya. Namun, Arthur tidak peduli.

Setelah membersihkan dirinya dari siksaan yang dialaminya, Arthur jatuh ke tempat tidur, merindukan ketenangan sejenak—meski hanya sesaat.

Kemudian, saat ia mulai tertidur, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi. Tubuhnya mulai melayang. Tanpa menyadari apa yang terjadi, Arthur tetap terperangkap dalam keadaan tidak sadarnya. Suatu entitas misterius muncul di hadapannya, memancarkan aura luar biasa yang mendistorsi ruang, waktu, dan realitas itu sendiri. Keseimbangan alam semesta goyah.

Entitas itu mengubah wujudnya—menjadi pedang yang agung dan agung.

Tanpa peringatan, benda itu menusuk dada Arthur. Rasa sakit yang tak pernah ia rasakan sebelumnya menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menyaksikan dengan ngeri saat organ-organ tubuhnya berhamburan keluar, tak berdaya untuk melawan.

Dan pada saat itu, Arthur bisa d

o tidak ada apa-apa.

Kecuali menyerah.

Previous Chapter
Next Chapter